Mencintai "Jendela Dunia"

Apa judul buku yang terakhir Anda baca? Harry Potter edisi terakhir, novel best seller Laskar Pelangi, atau biografi Barack Obama? Kira-kira berapa buku yang Anda baca dalam sebulan? Berapa dana yang Anda alokasikan khusus untuk membeli buku? Jujur saja, agaknya takkan banyak orang yang akan memberikan jawaban yang cukup memuaskan. Tapi bagaimana kalu menonton televisi? Berapa jam sehari Anda ‘bertapa’ serta ‘dijajah’ stupid box itu? Bahkan kini sudah tak terhitung lagi orangtua yang mempercayakan anaknya ‘diasuh’ televisi.

Untuk membaca, banyak orang mengaku tak sempat, malas, atau bahkan nggak hobi. Dan mungkin, karena sifatnya yang lebih audio visual, televisi kini lebih digemari. Tentu tak semua acara di televisi buruk. Masih ada acara seperti Kick Andy di Metro TV yang mengadakan segmen bagi-bagi buku gratis bagi mereka yang hadir. Bahkan, pemirsa di rumah yang ingin kebagian pun bias meng-klik situsnya.
Tapi bagaimanapun, minat baca kita masih belum begitu bagus. Menurut data BPS, orang kita belum menganggap buku sebagai sumber informasi. Minat baca kita cenderung statis sejak 1993. Hingga 2003 hanya naik 0,2 persen. Sementara minat menonton televisi melonjak hingga 211,1 persen. Memang di satu sisi, toko-toko buku besar dan nyaman kini cukup ramai dikunjungi. Pertanyaannya, apakah semuanya pembaca buku atau sekadar window shopping? Karena, seorang kutu buku belum tentu punya cukup dana untuk membeli buku. Dan tidak setiap orang yang berlimpah materi, tertarik untuk jadi kutu buku. Juga bukan hal baru kini, orang hanya membeli buku untuk sekadar gengsi atau prestise agar dikatakan intelek. Dibaca atau tidak, itu soal lain yang bahkan tidak penting. Berapa banyak orang yang membeli ensiklopedi mahal tapi membukanya pun tak pernah.
Menurut sumber Republika Online, selama tahun 2006, Cina telah menerbitkan 140 ribu buku dengan jumlah penduduk 1,3 miliar. Vietnam menerbitkan 15 ribu buku dengan jumlah penduduk 80 juta. Malaysia menerbitkan 10 ribu buku dengan jumlah penduduk 26 juta. Sementara Indonesia juga menerbitkan 10 ribu buku tapi dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa.
Kini, jenis buku cenderung lebih beragam dibanding 20 tahun yang lalu. Buku-buku self help, biografi, psikologi, kesehatan popular bahkan buku anak dan remaja kini tampil lebih genit. Selain cover yang menarik, kualitas kertas yang digunakan juga semakin baik. Di satu sisi, ini juga membuat harga buku makin mahal. Rata-rata harga buku kini sudah mencapai Rp50 ribu. Dan berapa banyak orang di negeri ini yang bahkan penghasilannya satu hari saja tak sampai menembus angka itu. Maka sudah wajarlah jika mereka lebih mementingkan periuk nasi ketimbang meningkatkan intelektualitas. Buku masih jadi barang mewah.
Karena itu peran perpustakaan sangat penting. Bagaimanapun, buku adalah ‘jendela dunia’. Dengan membaca, kita bisa berkelana dan membiarkan imajinasi terbang ke segala penjuru dunia tanpa mesti pergi secara fisik. Buku membuat pengetahuan kita tambah luas, memberi inspirasi, membantu menyelesaikan problem, mengasah cara berpikir dan sejuta manfaat positif lainnya. Karena itu, berdirinya Perpustakaan Soeman HS yang cukup megah di jantung Kota Pekanbaru agaknya perlu kita sambut hangat. Imej umum selama ini jika perpustakaan yang dikelola pemerintah identik dengan kesan sepi, suram, koleksi yang tidak trendi dll mungkin bisa dihapus jika melihat kondisi fisik bangunan yang cukup megah.
Karenanya, selain koleksi yang oke punya, interior yang nyaman, unsur hi-tech jangan sampai dilupakan. Karena dengan era virtual dan digital seperti sekarang, buku tak hanya berwujud kumpulan kertas-kertas. Media online kini sudah menjamur. Daripada membeli buku, orang kini cenderung surfing internet yang biayanya bahkan bisa lebih murah. Karena itu, menurut Chinese Institute of Publishing Science, meski dalam kurun waktu enam tahun terakhir minat membeli buku masyarakat Cina ‘terjun bebas’ tapi jumlah online reading-nya meningkat pesat.
Meminjam usulan Duta Baca Indonesia yang dipilih Perpustakaan Nasional, Tantowi Yahya, perpustakaan seharusnya punya urgency tinggi karena berfungsi sebagai community centre alias pusat kegiatan. Mulai dari pameran, bedah buku, atau tempat mendongeng untuk anak. Karena itu koleksinya harus up to date seperti toko buku. Karena itu, mulai kini, tak kata terlambat, mari kita mulai belajar mencintai buku dan menjadikannya mengisi setiap relung hati. Semoga.
Minggu, 23 Maret 2008

Purnimasari ,Asisten Redaktur Pelaksana Riau Pos

Diketik Ulang : RR

0 komentar:

Posting Komentar